Jumat, 10 Mei 2019

Ciri taqwa bagian dua (Shalat)

Surat Albaqarah ayat ketiga bagian kedua
Oleh: Jamaludin Al Ansori



الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Beriman kepada yang ghaib maksudnya adalah meyakini dengan sepenuh hati tanpa ragu sedikitpun kepada hal yang luput dari panca indra dan pikiran manusia berdasarkan informasi yang valid dan dapat dipercaya, yaitu membenarkan keberadaan Allah, Malaikat, Hari Pembalasan, Surga, Neraka dan lain lain. Semua itu merupakan modal bagi manusia untuk berfikir dan bertidak bukan karena dorongan dari na fsu semata yang sempit.

Tidaklah dikatakan bahwa seseorang itu bertaqwa, sehingga ia beriman. Begitu pula pada ayat selanjutnya, kita menemukan pada ayat tersebut, ciri orang bertaqwa yang kedua adalah mendirikan shalat. Maka tidak dikatakan sebagai orang bertaqwa jika ia tidak mendirikan shalat. Semakin jauh ia dari shalat, semakin jauh pula ia mencapai derajat Taqwa. Bahkan orang yang tidak shalat disandarkan kepada kekufuran,

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ»
Dari Abu Sufyan Ia berkata: Aku mendengar Jabir berkata, Aku mendengar Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya antara seorang hamba , Syirik dan kufur adalah meninggalkan shlalat. HR. Muslim: 134

Manusia merupakan makhluq yang matrealis, segala sesuatu disangkutkan dengan keuntungan duniawi . Maka tidaklah aneh jika ada ungkapan “Time is money”1,waktu adalah uang, karena pola pikir dan tindaknya tidak berdasarkan pemahaman keimanan sebagaimana dijelaskan di muka. Jika tidak diobati, maka penyakit ini akan terbawa sampai mati. Maka setelah mati, semuanyapun akan berhenti (angan angan dan cita cita duniawi), yang tersisa adalah penyesalan tiada henti dan memikirkan nasibnya nanti.

Firman Allah Ta’alaa:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ () حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ () كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ () ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ () كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ () لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ () ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ () ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ ()
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). QS. Attakatsur: 1-8

Jika kita bertanya kepada siswa SMA bahkan mahasiswa sekalipun, kemudian para pekerja, para pembisnis dan sebagainya mengenai tujuan mereka sekolah, kuliah, bekerja dan berbisnis, maka tidak menutup kemungkinan kebanyakan dari jawaban mereka adalah keuntungan duniawi saja (alangkah baiknya hal itu dari ucapan saja, namun dalam hati mereka tersimpan dasar dasar tujuan ukhrawi).

Sebagian manusia, khususnya muslim masih banyak yang berfikir,” sekolah/kuliah itu untuk bekerja, bekerja/bisnis itu untuk dapat uang (dunia), jika tidak sekolah/kuliah tidak bisa bekerja dan jika tidak bekerja, maka kita tidak akan dapat makan alias sengsara”, maka jika tidak sekolah pasti sengsara. Demikianlah di antara pemahaman orang orang di sekeliling kita.

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ()وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى ()
Bahkan mereka memilih kehidupan dunia. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.

Jika kita memperhatikan saudara saudar kita yang sedang terbaring lemas tak berdaya di tempat tidur, baik di rumahnya atau rumah sakit, mereka tidak bekerja, jangankan bekerja, untuk mengangkat kepala saja sangatlah berat, namun mereka tetap bisa makan. Maka jika hanya untuk dapat makan, orang yang tak berdaya pun bisa tetap makan.

Maka tidaklah aneh jika di masjid masjid itu masih dipenuhi dengan kekosongan manusia. Karena mereka berfikir, waktu beberapa menit itu jika digunakan bekerja atau berbisnis akan menghasilkan keuntungan yang lumayan. Adapun shalat, apalagi berjamaah, tidak menghasilkan apapun. Bahkan mereka terhalangi dari shalat  oleh aktifitas mereka.

Mereka semua bukan tidak mengetahui terhadap keberadaan Allah dan hari pembalasan, namun hal tersebut lantaran tidak kuatnya keyakinan mereka terhadap semua itu. Oleh karenanya, merupakan hal yang sangat penting menanam dan memelihara keimanan ini. Sehingga dalam berfikir dan bertindak tidak sempit, namun luas dan futuristik.

Mendirikan shalat adalah tindakan yang lahir dari keimanan. Mereka mendirikan shalat, padahal mereka mengetahui, bahwa waktu mereka tersita, yang biasa digunakan untuk bertransaksi, berbincang bisnis dengan pengusaha lain, infestor dll. Atau bagi para pedagang kecil, bisa digunakan untuk menjajakan dagangan, menunggu warung mereka sehingga menghasilkan beberapa uang recehan yang tidak mereka dapati jika waktu mereka digunakan untuk shalat, namun mereka menyediakan waktu di sela sela kesibukan mereka untuk tetap melaksanakan shalat karena mereka tidak hanya sekedar tahu, namun yakin tanpa ragu bahwa hakikat aktifitas mereka itu adalah proses menunggu waktu shalat tiba. Mereka juga yakin tanpa ragu bahwa semua yang mereka lakukan dan dapatkan dari dunia ini tidaklah lebih berharga daripada shalat.

Bisa terlaksananya shalat itu lantaran mereka juga yakin bahwa suatu hari nanti ada hari pembalasan dan perhitungan amal amal mereka. Hasiil dari pengorbanan mereka, menahan untuk terus beraktifitas  padahal waktu shalat sudah tiba, akan mendapatkan buah manis. Sehingga mereka merasa takut mendapatkan gagal panen kelak di aherat lantaran membela waktu berharga untuk aktifitas lain daripada shalat.

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Dan mintalah pertolongan dengan shabar dan shalat, sesungguhnya shalat itu berat kecuali atas orang orang yang khusyu’. QS. Albaqarah: 45

            Orang yang khusyu’, tunduk, patuh dan takut lantaran keyakinan yang mendalam tanpa keraguan, akan dimudahkan dalam beramal. Berbeda halnya dengan orang yang tidak khusyu’, di dalam hatinya masih terdapat keraguan, mereka akan merasa sulit dan masih menimbang nimbang antara shalat dan aktifitas mereka yang menguntungkan dalam tinjauan duniawi.

            Padaha sebagaimana yang kita ketahui bahwa amalan yang pertamakali dihisab adalah shalat.

عَنْ أَنَسِ بْنِ حَكِيمٍ الضَّبِّيِّ، قَالَ: قَالَ لِي أَبُو هُرَيْرَةَ: إِذَا أَتَيْتَ أَهْلَ مِصْرِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ،
Dari Anas Bin Hakim Adh Dhabbiy ia berkata, Abu Hurairah telah berkata kepada kepadaku,”Apabila engkau mendatangi penduduk Mesirmu, maka ceritakanlah kepada mereka bahwa aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda. “Sesungguhnya amalan pertama yang seorang muslim dihisab dengannya pada Hari Qiyamat adalah shalat fardhu. Hr. Ibnu Majah

Shalat itu sebagai pintu bagi dosa dosa. Ketika seseorang memelihara shalatnya, maka pintu pintu kemaksiyatan tertutup dengan rapatnya. Adapun jika shalatnya berantakan, bolong bahkan lupu sama sekali, maka pintu pintu kemaksiyatan akan terbuka sangat lebar.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. QS. Al Ankabut: 45

            Maka sudah sepantasnya  dan semestinya kita senantiasa memelihara shalat kita, karena dengan memelihara shalat, itu sebagai bukti benarnya keimanan kita dan sebagai media yang akan mengantarkan kita kepada derajat ketaqwaa. Adapun orang yang lalai dalm shalatnya, tidak mampu memeliharanya, maka kekuatan imannya masih dipertanyakan danq sudah barang tentu sangat jauh sekali mencapai derajat ketaqwaan. Wallaahu a’lam.




1)              Agama tidak melarang untuk memanfaatkan waktu untuk menghasilkan uang, namun lebih menjadikannya sebagai tujuan.

Jumat, 23 November 2018

Ciri Taqwa Bagian Pertama (Iman kepada Perkara Ghaib)



Surat Al-Baqarah Ayat ketiga Bagian Pertama
Oleh: Jamaludin Al-Ansori



الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.




Allah merinci, siapa saja yang termasuk orang yang bertakwa versi ayat kedua dari Surat Albaqarah ini, yaitu:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
Al-Quran mengajak kita untuk berfikir menuju keyakinan, berdasarkan bukti-bukti yang kongkrit dan mudah difahami untuk orang-orang yang mau menggunakan akal sehatnya, sebagaimana diterangkan pada pembahasan sebelumnya.

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya benar-benar telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? QS. AlQamar:17

Keyakinan tanpa ragu melahirkan keimanan yang berfungsi sebagai ashlun (akar yang sehat) bagi berdiri nya furu’ (cabang yang kuat) yang mempunyai proteksi untuk menangkal firus-firus yang dapat mengganggu eksistensi dan kesehatan pohon Aqidah. Keimanan yang muncul dari keyakinan yang kuat melahirkan derajat ketaqwaan, yaitu suatu derajat yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta swt. Seseorang tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bertaqwa padahal dia tidak beriman.

Dengan kata lain, tidak ada satu orang kafir pun yang bertaqwa (versi AlQuran). Dan tidak bisa dikatakan iman, jika jauh dari keyakinan dan berkomitmen bahwa Al-Quran sebagai media menuju jalan keselamatan dan tujuan akhir yang membahagiakan.

Ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, dicicipi oleh lidah dan dirasakan oleh kulit. Dengan kata lain, ghaib itu tidak bisa terindra bahkan tidak terbesit dalam pikiran, itulah yang disebut dengan hal ghaib. Jika salah satu saja gugur, misalnya bisa terlihat, maka sudah gugur pula keghaibannya.

Tiada seorangpun yang mengetahui perkara ghaib kecuali pencipta keghaiban itu sendiri yaitu Allah SWT.

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
Di sisi-Nya lah kunci-kunci perkara ghaib, tiada yang mengetahuinya kecuali Dia. QS. Al-An’am:59

kita bisa mengetahui perkara ghaib karena diberitahu. Jangankan kita, tingkatan Nabi sja jika tidak diberitahu tentang keghaiban itu, tidak mengetahui apapapun mengenainya. Hal tersebut terungkap dari firman Allah swt.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." QS. AlIsra:85

Maka sudah sepantasnya seorang yang ingin mencapai derajat ketaqwaan, tidak terburuburu dalam menentukan apapun berkenaan dengan hal ghaib sebelum adanya dalil yang shahih mengenai hal tersebut.

Bersambung ....


Selasa, 20 November 2018

Masihkah meragukan Al-Quran?



Masihkah meragukan Alquran?
Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 2
Oleh: Jamaludin Al-Ansori


ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Alkitab ini (Alquran) tiada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
 

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
Alquran bukan suatu karangan manusia yang berasal dari hayalan dan olahan pikiran yang direka-reka, dikira-kira dan diperindah, sebagaimana yang dikatakan oleh Kafirin Quraisy

فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ  
Lalu mereka berkata, “Alquran ini hanyalah sihir yang dipelajari dan ini hanyalah perkataan manusia”. QS. Almuddatstsir: 25

Namun ia merupakan suatu Kitab yang diturunkan oleh Allah SWT tuhan yang mempunyai kasih sayang begitu luas kepada makhluk-Nya, gagah perkasa dan berkuasa meliputi alam semsta dan maha benar, kepada Utusan-utusan terpercaya yaitu Arruuh Al-Amiin (Jibril AS) dan Arrasuul Al-Amiin (Nabi Muhammad SAW) . Begitu juga sampainya kepada kita melalui periwayatan yang Mutawatir. Sehingga sangat terjaga keasliannya.

تَنزيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. QS. Assajdah:2

Di antara bukti kebenaran, keaslian dan terjaganya Alquran ini adalah sebagai berikut:

1.      Dalam Surat Alfath ayat ke sembilan terdapat kalimat “عَلَيْهُdengan tidak mengkasrah “ha”. Dan di sana lah satu-satunya tempat di mana huruf “’alaa
‘ bersambung dengan “ha” dhamir dengan didhammahnya “ha” dhamir tersebut. Adapun di surat dan ayat yang lain adalah dengan mengkasrahnya "عليهِ".
2.      Setiap Surat dalam Alquran pasti diawali dengan lafazh Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) kecuali di Surat Attaubah atau Albara-ah tanpa Basmalah.

Apa hikmah dilampirkannya keterangan-keterangan tersebut?
Dari mulai Alquran diturunkan sampai dengan sekarang, ia datang kepada kita melalui berbagai generasi zaman yang berbeda-beda kondisi, karakter dan sifat baik psikis atau fisik manusia yang dilaluinya, namun tidak sedikitpun ada yang berubah dari Alquran ini. Tak ada yang sanggup untuk merubah satu surat saja di Alquran ini. Jangankan satu surat, satu kalimat bahkan satu huruf pun tak ada yang mapu merubahnya. Tak ada yang bisa merubah harakat “ha dhamir” dalam kalimat ‘alaihu menjadi kasrah dlam Surat Alfath. Apa lagi jika membuat satu surat, sungguh mustahil.

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ () فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ ()
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. QS. Albaqarah:23-24

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Alquran, maka Kami (juga) lah yang akan memeliharanya. QS. Alhijr: 9

            Maka sudah sepantasnya mengenai Alquran ini tiada keraguan sedikitpun padanya. Sehingga janganlah sekali-kali meragukannya, akan tetapi patut dan sudah sepantasnyalah kita yakin terhadapnya. Karena Alquran itu pasti benarnya dan sangat mustahil salah atau melesetnya.

هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Ketika di dalam hati seseorang masih terdapat keraguan mengenai kebenaran Alquran, padahal di dalam Alquran itu terdapat bergitu banyak butiran mutiara pelajaran dan hikmah, tersebarnya gejolak api peringatan begitu pula berbagai bukti kebenaran kandungannya. Maka tidaklah Alquran ini menjadi petunjuk.

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ
Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh." QS. Fushshilat:44

Alquran ini akan menjadi petunjuk hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang yakin tanpa ragu terhadapnya serta mengaplikasikan Alquran ini dalam kehidupannya sehari-hari, dengan cara melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang dilarang-Nya.

Rabu, 07 November 2018

Bolehkah menqashar shalat sesaat sebelum berangkat safar?




Pertanyaan:

Bolehkah saya akan studi ke luar negeri hari ini, bolehkah saya mengqosor salat sesaat sebelum berangkat di rumah?

Jawaban:

Shalat merupakkan kewajiban bagi setiap setiap muslim sebagaimana Sabda Nabi saw.
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا
Dari [Tholhah bin 'Ubaidullah]; Ada seorang 'Arab Baduy datang kepada Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan kepalanya penuh debu lalu berkata; "Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang shalat?". Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Shalat lima kali kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathowwu' (sunnat) ". HR. Albukhariy:1758

Kewajiaban shalat akan selalu ada dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, Baik muqim atau safar. Dalam pelaksanaannya tentu merujuk kepada ketentuan asal dari shalat tersebut (azimah). seperti zhuhur, ashar dan isya itu empat rakaat. Namun ketika safar, Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi mukallaf untuk mengqashar shalat.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. QS. An-Nisa’:101

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ، قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ، إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا} فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ، فَقَالَ: عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتُ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ «صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ»
Dari Ya’la Bin Umayyah, Ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Umar Ibn Alkhatthab tentang ayat ‘laisa ‘alaikum junaahu...’, sedangkan sekarang orang-orang sudah aman?” Umar menjawab, “ Aku pun pernah kaget sebagaimana engkau kaget, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw mengenai halitu. Beliau menjawab,’ itu adalah shadaqah yang Allah shadaqah dengannya atas kalian, maka terimalah shadaqah-Nya” HR. Muslim:686

 Maka berdasarkan dua keterangan di atas, safar itu menjadi sebab adanya qashar shalat, shalat yang ashalnya empat raka'at menjadi dua raka'at. 

عن حفص بن عاصم قال أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: «صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ»
Dari Hafsh Bin ‘Ashim ia berkata, bahwasnya ia mendengar ibnu umar berkata: aku menemani Rasulullah saw, maka keadaan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat, begitu pula Abu Bakr, Umar dan ‘Utsman ra. Hr. Albukhariy:1102

Berarti jika tidak dalam safar, tidak ada pula qashar shalat, yaitu kembali kepada azimah, zhuhur, ashar dan isya itu empat raka'at.

اَلْحُكْمُ يَدُورُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًا

Ada dan tiadanya Hukum itu beredar bersama (ada dan tiadanya) ilat

Dengan demikian anda tidak bisa mengqashar shalat karena Sabab (ilat)nya pun belum ada, wallahu A’lam.

Rabu, 31 Oktober 2018

Apakah susunan نَعْبُدُ إِيَّكَ itu tepat? lihat jawabannya pada pembahasan "Dhamir Nashbin Muttashil Bil Fi'li"




Pertemuan kelima

Dhamir Nashbin Muttashil Bil Fi’li

Oleh: Jamaludin Al-Ansori

Sering kita mendengar dalam majlis-majlis atau pengajian –pengajian yang di dalamnya kadang disebut-sebut beberapa dhamir yang di antaranya adalah dhamir nashbin muttashil dan munfashil. kadang-kadang di sela-sela perkataan, terselip suatu susunan kalimat dari pernyataan:” إِيَّاكَ نَعْبُدُ  itu asalnya نَعْبُدُ إِيَّاَكَ , peristiwa mendahulukan yang seharusnya diakhirkan itu memberi faidah hasr (batasan)”.
Demikianlah di antara pernyataan yang kadang bahkan (penulis sendiri) sering mendengarnya di mimbar-mimbar pengajian. Mari kita perhatikan sebuah jumlah yang kami garis bawahi, yaitu: نَعْبُدُ إِيَّاَكَ  , apakah susunan dari jumlah tersebut sudah sesuai dengan kaidah, atau bahkan keliru? Untuk menjawabnya, kita perhatikan terlebih dahulu pemaparan singkat mengenai dhamir nashbin muttashil bil fi’li berikut ini.

Dhamir nashbin muttashil bil fi’li adalah dhamir nashab yang bersambung dengan fi’il, baik berupa fi’il madhi, mudhari’ atau amr. Tepatnya, dhamir ini berfungsi sebagai objek.
Jika di antara fi’il dengan objeknya ada pemisah, maka yang digunakan adalah dhamir nashbin munfashil. namun jika tiada pemisah di antara mereka, maka yang digunakan adalah dhamir nashbin muttashil bil fi’li ini. Berikut ini adalah rinciannya:

No.
Arti
Dhamir
Dhamir + Fi’il
1.
Dia satu laki-laki telah menolong akan Dia satu laki-laki
هُ
نَصَرَهُ
2.
Dia satu laki-laki telah menolong akan Mereka dua laki-laki
هُمَا
نَصَرَهُمَا
3.
Dia satu laki-laki telah menolong akan mereka beberapa laki-laki
هُمْ
نَصَرَهُمْ
4.
Dia satu laki-laki telah menolong akan dia satu perempuan
هَا
نَصَرَهَا
5.
Dia satu laki-laki telah menolong akan mereka dua perempuan
هُمَا
نَصَرَهُمَا
6.
Dia satu laki-laki telah menolong akan mereka beberapa perempuan
هُنَّ
نَصَرَهُنَّ
7.
Dia satu laki-laki telah menolong akan Kamu satu lai-laki
كَ
نَصَرَكَ
8.
Dia satu laki-laki telah menolong akan kalian dua laki-laki
كُمَا
نَصَرَكُمَا
9.
Dia satu laki-laki telah menolong akan Dia satu laki-laki
كُمْ
نَصَرَكُم
10.
Dia satu laki-laki telah menolong akan kamu satu perempuan
كِ
نَصَرَكِ
11.
Dia satu laki-laki telah menolong akan kalian dua perempuan
كُمَا
نَصَرَكُمَا
12.
Dia satu laki-laki telah menolong akan kalian beberapa perempuan
كُنَّ
نَصَرَكُنَّ
13.
Dia satu laki-laki telah menolong akan saya
يْ
نَصَرَنِيْ
14.
Dia satu laki-laki telah menolong akan kami/kita
نَا
نَصَرَنَا

Itulah rincian dhamir nashbin muttashil ini, adapun tempatnya, sebagaimana dijelaskan di atas, bisa juga menempel dengan fi’il mudhari’ atau fi’il amr. Contoh:
Kamu satu laki-laki sedang/akan menolong kami
تَنْصُرُنَا
Hendaklah kamu satu laki-laki menolong dia satu perempuan
اُنْصُرْهَا

Namun jika terdapat pemisah antara fi’il dengan maf’ulnya akan menjadi seperti berikut ini:
1.
Kamu satu laki-laki sedang/akan menolong kami dan mereka beberapa perempuan
تَنْصُرُنَا وَ إِيَّاهُنَّ
2.
Hanyalah kamu satu laki-laki sedang/akan menolong kami saja
إِيَّانَا تَنْصُرُ
3.
Hendaklah kamu satu laki-laki menolong dia satu perempuan
اُنْصُرْهَا

Dll.

Keterangan:
1.      Pada contoh pertama ada dua jenis dhamir nashbin yaitu نا dan إياهن. Mereka dibedakan karena memang secara struktural mereka berbeda walaupun secara makna mereka sama. Dhamir nashab pertama adalah “naa”, mengapa yang diletakkan di sana bukan “iyyaanaa”? karena di antara fi’il dengan maf’ulnya tiada pemisah. Oleh karena itu kurang tepat apabila susunan kalimatnya seperti ini, تَنْصُرُ إِيَّانَا.
Begitu pula iyyaahunna di sana, mengapa tidak memakai hunna saja? Karena di antara mereka ada pemisah yaitu dhamir sebelumnya. Oleh karena itu tidak tepat jika susunannya seperti ini, تَنْصُرُنَا و هُنَّ.

2.      Untuk contoh nomor dua ada sedikit perbedaan. Dhamir nashab yang berfungsi sebagai maf’ul atau objek berada di awal, sedangkan fi’ilnya datang kemudian. Dalam kondisi-kondisi tertentu, hal ini tidak menjadi masalah,  asalkan yang menulisnya memahami makna dibalik semua itu. Jika kita perhatikan, antara fi’il dengan maf’ulnya tiada pemisah, lalu mengapa tidak lantas kita simpan saja dhamir nashbin muttashil?
Perlu diketahui, bahwa aturan main menempelnya dhamir itu di belakang. Adapun dari arah depan tidak ada satu kaidahpun yang menerangkan akan kebolehannya. Maka walaupan tiada pemisah, karena tidak diperbolehkannya dhamir menempel melalui arah depan, dianggap bahwa dhamir tersebut terpisah dari induknya dalam kata lain munfashil.

3.      Untuk contoh nomor tiga, kami rasa tidak terdapat masalah dan dirasa cukup dengan penjelasan sebelumnya, namun fi’il yang digunakan adalah fi’il amr.

Dengan pemaparan di atas dirasa sudah cukup mewakili pertanyaan atau masalah mengenai benar/tidaknya susunan kalimat نَعْبُدُ إِيَّاَكَ, yaitu sebagaimana yang dijelaskan pada keterangan nomor satu dan dua. Sehingga kalimat yang tepat adalah نَعبُدُكَ.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai dhamir nashbin muttashil bil fi’li. Semoga bermanfaat.